Melacak Jejak Tuan Tanah di Landhuis Koeripan: Mulai dari Bujangan, Tokoh Agama dan Tokoh Pemerintah Hindia-Belanda di Koeripan, Ciseeng, Bogor, Jawa Barat
“Arsip dan dokumen Belanda itu beberapa di antaranya kini dapat diakses dengan mudah di internet. Berbagai lembaga sudah mulai mengunggahnya di dunia maya. Namun, kita harus menguasai ilmunya agar dengan mudah mendapatkan apa yang kita inginkan.”
Disusun oleh:
Dr. Rakeeman R.A.M. Jumaan**)
MELACAK SUMBER TERTULIS ARSIP BELANDA
Sebagaimana diungkapkan oleh Pater Adolf J. Heuken, S.J., bangsa Eropa –baik itu Portugis, Spanyol, Inggris, Belanda—sangat rapi dalam mendokumentasikan nama dan peristiwa yang berada dan terjadi di bawah administrasinya. Nama dan peristiwa itu bukan hanya yang terjadi dalam waktu puluhan tahun, melainkan juga yang telah terjadi ratusan tahun lampau. Pencatatan dokumen itu, dilakukan oleh perorangan atau dalam kapasitas sedang menjabat sebagai pejabat tertentu.
Beberapa nama perlu disebutkan disini, misalnya, Antonio Piggafeta, Tome Pires dan Pedro Tafur. Antonio Piggafeta adalah juru tulis (klerek) dalam Ekspedisi Maggelhaens yang tiba di Pelabuhan Kayeli, Pulau Buru (Maluku) pada 1521. Begitu juga Tome Pires, penulis Suma Orientale, telah mencatat berbagai nama dan peristiwa yang terjadi di Nusantara selama 2-3 tahun, khususnya Kesultanan Banten dan Kerajaan Pajajaran. Sedangkan Pedro Tafur, telah mengunjungi Eropa pada abad XV, dimana saat itu Eropa masih dalam keadaan sederhana.
Arsip dan dokumen Belanda itu kini beberapa di antaranya dapat diakses dengan mudah di internet. Berbagai lembaga sudah mulai mengunggahnya di dunia maya. Namun, kita harus menguasai ilmunya agar dengan mudah mendapatkan apa yang kita inginkan. Di antaranya, penguasaan kosakata bahasa Inggris dan Belanda sebagai kata kunci (keyword).
Begitu juga, kita harus menguasai semacam forensik sejarah (historisch forensich onderzoek) untuk menyatukan potongan-potongan informasi (fragmen) tertulis itu. sebab, biasanya informasi yang ada masih sebatas bahan dasar. Bahan dasar itu kadang hanya berupa selembar lukisan tangan atau foto manual atau secarik catatan tertentu.
Toponimi juga menjadi sangat penting dikuasai agar tidak kebingungan ketika membaca nama orang atau lokasi. Sebab, biasanya ejaan Belanda atau Inggris berbeda dengan ejaan Indonesia. Berbagai nama lokasi yang selama ini akrab di telinga kita, terkadang berbeda penulisannya dalam sumber-sumber Belanda atau Inggris tersebut.
LAND KOERIPAN PADA MASA PEMBUKAAN PERTAMA
Menurut data yang Penulis miliki, Land Koeripan dibuka pertama kali pada 1790. Namun, tidak ada data sama sekali, siapa orang yang menjadi tuan tanah (landheer) dan tinggal di rumah perkebunan (landhuis) Koeripan itu. Yang jelas, pada tahun-tahun itu, Nusantara masih dikuasai oleh Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC), yaitu Kongsi Dagang India-Timur Belanda.
Hanya ada sehelai lukisan tangan yang menunjukkan bahwa kawasan Land Koeripan sudah ditanami pohon kelapa dan padi. Lokasi itu terletak di seberang Sungai Cisadane (Tjidani). Tampak dalam gambar itu beberapa rumah atau landhuis dan dua buah rakit bambu (getek) sedang dipakai di atas sungai.
Berdasarkan catatan yang terdapat dalam lukisan itu, diketahui ada nama J.J. van Braam dan sedikit tulisan. Namun, agaknya lukisan ini dibuat pada masa belakangan. Beberapa alasan adalah seperti yang akan disampaikan nanti. J.J. van Braam sendiri diketahui adalah putra dari J.A. van Braam, seorang pejabat teras Hindia-Belanda yang tinggal di Batavia (Jakarta).
Pada masa awal, lokasi perkebunan Land Koeripan yang dibuka masih di sekitar Sungai Cisadane. Rumah tuan tanah (landhuis) juga masih sederhana dan masih sedikit yang tinggal di sekitar lokasi itu. barulah pada masa berikutnya, setelah rumah tuan tanah (landhuis) dipindahkan ke lokasi baru di Ciseeng, penataan Land Koeripan menjadi semakin berkembang pesat.
Selama hampir seperempat abad, tidak ada catatan yang diperoleh mengenai Land Koeripan. Namun, dari makam yang ada di Landhuis Koeripan didapati nama William Menzies (catatan: Pater Adolf J. Heuken, S.J. menulisnya William Menzie[l]s). Dari sini, mulai sedikit terkuak nama-nama para tuan tanah (landheer) yang tinggal disana.
Selain itu, hubungan di antara para tuan tanah di Land Koeripan juga mulai terkuak. Ada catatan singkat, bahwa mereka masih memiliki hubungan erat meskipun seolah kewarganegaraan mereka berbeda: ada Inggiris dan Belanda. Tetapi selama empat generasi, sebenarnya mereka berasal dari silsilah yang sama.
TUAN TANAH DI LANDHUIS KOERIPAN DARI MASA KE MASA
Dari Almanak van Nederlandsch-Indie voor het jaar 1867 Vol. 40, kita dapati nama-nama tuan tanah yang memiliki perkebunan di beberapa lokasi termasuk di Land Koeripan. Ini merupakan nama-nama pertama pemilik lahan partikelir di Nusantara. Namun, nama-nama tersebut tidak selamanya memiliki lahan itu, karena pada tahun-tahun berikutnya terjadi proses peralihan kepemilikan. Hal itu disebabkan oleh beberapa hal, seperti terjadinya kongsi, jual-beli dan pengambilalihan (akuisisi) oleh pemerintah Hindia-Belanda dan lain-lain.
Nama yang mencolok sebagai tuan tanah Land Koeripan menurut data Staat der Partikuliere Landerijen adalah W.F. Mooijaart Dennison dan Miss Marij Menzies. Oleh sebab itu, ini sangat menarik, sebab nama William Menzies itu ternyata bisa menjadi nama dari dua orang, yaitu William Frederik Mooijaart-Dennison (1823-1888) dan Miss Marij Menzies (1798-1852). Tetapi, bila yang dimaksud adalah William Menzies sebagai nama dari satu orang, maka itu adalah William Menzies (1791-1855) yang merupakan pedagang Inggris dan kemungkinan adalah orang tua dari kedua nama sebelumnya.
William Menzies berada di Buitenzorg (Bogor) terutama sebagai tuan tanah di Landhuis Koeripan sejak 1816 hingga 1822. Setelah itu, William Menzies bertolak ke Benggala untuk beberapa waktu lamanya. Pada saat sebagai tuan tanah di Land Koeripan William Menzies masih belum menikah (unmarried) alias bujangan. Namun, setelah kembali ke Batavia, dia kemudian menikah. Setelah meninggal di Batavia pada 1855, jenazah William dimakamkan di Landhuis Koeripan.
William Menzies pernah menyerahkan bagian Land Koeripan kepada Jan Jacob van Braam (1805-1884), putra dari tokoh teras pejabat Hindia-Belanda di Batavia, yaitu Jacob Andreas van Braam (1771-1820). J.J. van Braam menikah pertama dengan Carolina Eugenie Bosquet (1814-1836) pada 1831. Kemudian menikah kedua kali dengan Catharina Theodora Baud (1820-1899) pada 1842.
Tuan tanah Land Koeripan berikutnya adalah Pastur Charles Olke van der Plas Sr. (1845-1930) dan istri Freule Catharina Clifford Kocq van Breugel (1860-1935). Pada masanya, Land Koeripan mengalami kemajuan yang pesat. Pada masa ini (1836), jalur-jalur kendaraan dan kereta api mulai dibangun. Stasiun kereta api itu terletak di dekat Landhuis Koeripan yang baru yaitu di Ciseeng (kini, pertigaan arah ke Desa Cibentang dan Desa Kuripan).
Sejak Pastur Charles van der Plas Sr. pensiun pada 1908 dan kembali ke Belanda, pengelolaan Landhuis di serahkan kepada seorang China yang kemudian mengelolanya. Putra Pastur Charles Olke sendiri yaitu Dr. Chales Olke van der Plas (1891-1977) dan saudaranya, tetap tinggal di Land Koeripan. Mereka didampingi oleh pengasuh setia yang sudah dianggap seperti saudara, yaitu Catherina Elizabeth Sturhaan alias Aunt Kitty alias Bibi Kit.
Selama masa pendidikan di Batavia dan kuliah di Belanda, mereka sering pulang ke Landhuis Koeripan. Hanya setelah bekerja sebagai pegawai negeri sipil (amtenaar) dan menempati posisi tinggi, Dr. Charles Olke van der Plas jarang kembali ke Landhuis Koeripan. Apalagi ketika dia menjabat sebagai Konsul Belanda di Jeddah (1921-1926), lalu Ketua Kantoor voor Inlandsch Zaken (1927-1931), Residen Cirebon di Indramayu (1931-1933) dan Gubernur Jawa Timur (1937-1942).
Sekedar diketahui, bahwa tuan tanah pada masa Hindia-Belanda tidak mesti orang Eropa. Ternyata orang China atau orang pribumi pun bisa menjadi tuan tanah. Dalam catatan Penulis, ada beberapa orang China dan orang pribumi yang menjadi tuan tanah di Land Koeripan. Misalnya, lahan perkebunan di Djampang-Ilier (Gunung Sindur) dimiliki oleh Lie Boen Tjiang (Tan Ijoe Hoa), Janlapa Parong dimiliki oleh Radhen Mochalie, Tjikoleang dimiliki oleh Radhen Noorarsie (J. van Motman) dan lainnya.
KOMODITAS PERTANIAN DAN PERKEBUNAN DI LAND KOERIPAN
Selama lebih dari tiga perempat abad, atau tepatnya 77 tahun, Land Koeripan telah dimiliki oleh berbagai pihak. Tuan tanah silih berganti menguasainya, baik itu orang Eropa, China maupun pribumi. Begitu juga jenis komoditas pertanian dan perkebunan yang dibudidayakan telah bertambah semakin banyak. Yang pada awal pembukaan hanya berupa padi (rijst) dan kelapa (kokosnoot), berikutnya bertambah dengan gula tebu (suiker), gula Jawa (suiker-java), getah karet (rubber), pala (notenmuskaat), bahkan ganja (opium).
Land Koeripan dikenal sebagai penghasil komoditas pertanian dan perkebunan, terutama padi dan kelapa. Djampang-Ilier (Gunung Sindur) sebagai penghasil padi, gula tebu, gula Jawa, pala, kacang dan biskuit. Roemping (Rumpin) dikenal sebagai penghasil padi, kopi, gula Jawa dan biskuit. Janlapa Parong sebagai penghasil nila. Sawangan sebagai penghasil kopi. Hampir semua lokasi di Land Koeripan menghasilkan padi.
Luas Land Koeripan yang saat itu mencapai 181 kilometer persegi –terbentang dari perbatasan Tangerang, Depok, Rumpin, Semplak, Bojonggede—memungkinkan lahan-lahan itu ditanami dengan pertanian dan perkebunan. Terutama sawah, di berbagai lokasi telah dibuat, termasuk di sekitar Gunung Kapur (Kalkbergen). Hamparan sawah terlihat dimana-mana.
Menurut data, saat itu Land Koeripan merupakan Land yang memiliki jumlah penduduk terbanyak ketiga di District Paroeng (Bogor). Berdasarkan Bevolingstatistik van Java pada 1867, jumlah penduduk Land Koeripan mencapai 11.746 jiwa atau selisih sedikit dari Land Bollang (14.617 jiwa) dan lebih banyak dari Land Djassinga (10.145 jiwa). Penduduk Land Koeripan terdiri dari 51 kampoeng (desa), ada 6 orang Eropa, 11.683 penduduk pribumi, dan 57 warga China.
FAKTOR PENDUKUNG KEMAJUAN DAN KEMUNDURAN DI LAND KOERIPAN
Segala sesuatu pasti ada masanya. Ada masa menanam, ada masa memanen. Begitu juga di Land Koeripan, silih berganti terjadi kemajuan dan kemunduran. Pada masa itu, ada beberapa faktor yang menjadi penyebab kemajuan dan kemunduran di Land Koeripan. Faktor itu ada yang berasal dari internal, ada juga yang dari eksternal terutama alam dan bencana alam.
Faktor internal biasanya diakibatkan oleh perubahan administrasi dan kepemilikan lahan-lahan tersebut. Ini cukup mengganggu kemajuan yang akan dicapai. Begitu juga seringnya terjadi pemberontakan seperti digambarkan oleh Jan Frederik Gerrit Brumund, Bijdragen tot de kennis van het Hindoeïsme op Java. Batavia: Lange 1868, p. 71-72.
Sedangkan faktor eksternal lebih disebabkan oleh alam atau force majeur, seperti bencana alam. Pengaruh bencana alam itu juga dirasakan di Land Koeripan. Misalnya ketika Gunung Tambora meletus pada 1815, Gunung Guntur (21 Oktober 1818), Gunung Galunggung (8 Oktober 1822), begitu juga gempa hebat dan letusan Gunung Salak pada 1834 telah meluluhlantakan perkebunan dan bangunan. Pada masa inilah, Landhuis Koeripan (yang awalnya berada di Kampung Koeripan) dipindahkan ke Kampung Ciseeng, meski namanya (Land Koeripan) tetap tidak dirubah.
Kemajuan yang sangat pesat terjadi saat Land Koeripan dipimpin oleh Landheer Pastur Charles Olke van der Plas Sr. (1868-1930). Pada masanya, jalan-jalan mulai dibangun dan diperbagus. Ini mengakibatkan transportasi menjadi lancar dan hasil bumi dapat dikirim ke wilayah lain dengan mudah. Rel kereta api pun dibangun, bahkan memiliki jalur ganda (spoorweg). Begitu juga di beberapa sungai mulai dibangun jembatan (brug), termasuk jembatan untuk rel kereta api (spoorbrug).
Kesimpulannya, tuan tanah Land Koeripan yang menerapkan prinsip liberal memungkinkan daerahnya menjadi maju dan berkembang. Unsur paksaan alias cultuurstelsel yang pernah diterapkan pada masa-masa sebelumnya, dampaknya membuat banyak penduduk sering berpindah tempat. Inilah yang menyebabkan perkebunan dan perekonomian menjadi terganggu.
---o0o---
Catatan:
*) Selesai ditulis pada Minggu, 3 Desember 2023 pkl. 15:30 WIB di Ruang Kerja Rektorat.
**) Penulis merupakan Pembina Nasional Forum Mahasiswa Studi Agama-Agama se-Indonesia (FORMASAA-I) Jakarta dan Direktur Pusat Kajian Manuskrip Islam dan Filologi (PKMIF) Ambon, Maluku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar