masukkan script iklan disini

Sebelum pembangunan Tugu Kujang, di Bogor sebenarnya pernah berdiri sebuah tugu yang tak kalah megahnya. Tugu yang oleh penduduk sekitar disebut dengan pilar putih atau pilar pabaton. Orang-orang Belanda menyebutnya Witte Paal. Berikut kisah tentang Pilar Putih Witte Paal di Bogor.
Pembongkaran tugu setinggi 24 meter itu pun dilakukan dengan memakan biaya sebesar Rp 15.000 (lima belas ribu rupiah). Pada upacara peringatan Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei 1958, secara simbolis dilakukan penghancuran sisa-sia tugu oleh pihak PKP (Pelaksana Kuasa Perang), Residen, Kepala Daerah, dan Pemuda dengan cara menggali sebagian dari pondasi tugu tersebut.
Beberapa tahun kemudian, lahan bekas tugu pilar witte paal berdiri itu difungsikan sebagai kawasan ruang terbuka dengan kolam air mancur. Sampai sekarang daerah itu kemudian dikenal dengan sebutan kawasan Air Mancur.
Sebuah koran Belanda Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indie terbitan 1 Juli 1925 pernah menulis mengenai kemegahan tugu pilar yang dahulu berdiri kokoh di tengah kawasan Air Mancur. Koran itu menulis sebagai berikut:
“Bogor semakin indah dengan berdirinya Witte Paal di persimpangan Jalan Jakarta, Bubulak dan Pabaton. Pada bagian dinding tugu yang bercat putih, terpampang megah lambang kerajaan. Sangat serasi dengan tangga dan vas yang memantulkan sinar matahari ”
Kisah mengenai pembangunan tugu pilar yang disebut Witte Paal ini memang sangat misterius. Bahkan orang-orang Belanda sendiri pun, pada waktu itu belum mengerti apa sebenarnya maksud didirikannya pilar berwarna putih tersebut. Ada beberapa versi pendapat mengenai asal usul pilar putih yang berkembang di masyarakat.
Dalam buku “Guide for Buitenzorg”, di situ disebutkan bahwa witte paal dibangun pada tahun 1839 di masa pemerintahan Gubernur Jenderal Dominique Jacques de Eerens. Tugu ini sengaja dibangun oleh Eerens untuk memberikan nuansa yang lain saat para tamu dan penghuni Istana bersantai di beranda Istana dan melihat Witte paal dari kejauhan.
Ya, kalau kita sedang duduk-duduk di teras Istana yang menghadap ke Jalan Sudirman, akan tampak garis lurus dari depan Istana sampai ke kawasan Air Mancur. Dengan adanya tugu di ujung jalan itu, tentu akan menjadikannya lebih indah dipandang mata.
“Bogor semakin indah dengan berdirinya Witte Paal di persimpangan Jalan Jakarta, Bubulak dan Pabaton. Pada bagian dinding tugu yang bercat putih, terpampang megah lambang kerajaan. Sangat serasi dengan tangga dan vas yang memantulkan sinar matahari ”
Kisah mengenai pembangunan tugu pilar yang disebut Witte Paal ini memang sangat misterius. Bahkan orang-orang Belanda sendiri pun, pada waktu itu belum mengerti apa sebenarnya maksud didirikannya pilar berwarna putih tersebut. Ada beberapa versi pendapat mengenai asal usul pilar putih yang berkembang di masyarakat.
Dalam buku “Guide for Buitenzorg”, di situ disebutkan bahwa witte paal dibangun pada tahun 1839 di masa pemerintahan Gubernur Jenderal Dominique Jacques de Eerens. Tugu ini sengaja dibangun oleh Eerens untuk memberikan nuansa yang lain saat para tamu dan penghuni Istana bersantai di beranda Istana dan melihat Witte paal dari kejauhan.
Ya, kalau kita sedang duduk-duduk di teras Istana yang menghadap ke Jalan Sudirman, akan tampak garis lurus dari depan Istana sampai ke kawasan Air Mancur. Dengan adanya tugu di ujung jalan itu, tentu akan menjadikannya lebih indah dipandang mata.
Adapun versi lain menyebutkan bahwa Eerens mendirikan tugu ini adalah sebagai monumen untuk memperingati hari pernikahan puterinya, juga sebagai tanda peringatan atas kembalinya Buitenzorg ke tangan Belanda setelah sempat dikuasai oleh Inggris selama 5 tahun (1811-1816). Bagi para ahli, tugu ini juga dianggap memiliki fungsi sebagai titik triangulasi atau titik koordinat dalam menentukan lokasi berdasarkan tinggi permukaan laut.
Tahun 1941 sewaktu Perang Dunia berkecamuk, pilar putih witte paal dicat ulang dengan warna yang lebih gelap. Bataviassch Niewsblad menulis bahwa pengecatan tugu ini dilakukan atas perintah dewan kota untuk menyamarkan tugu maupun bangunan lain dari serangan udara yang dilakukan militer Jepang.
Setelah Hindia Belanda dikuasai oleh Jepang, beberapa bangunan penting di Bogor dihancurkan. Namun tugu ini dibiarkan tetap berdiri, karena mereka bisa menggunakan sebagai media untuk propaganda. Selama pendudukan Jepang di Bogor, tugu pilar witte paal dihiasi dengan tulisan-tulisan dan poster-poster propaganda mengenai keunggulan Jepang.
Namun pendudukan Jepang tidak bertahan lama, karena pada tahun 1945 mereka harus menelan pil pahit setelah Amerika membumihanguskan Hiroshima dan Nagasaki pada 6 dan 9 Agustus 1945 dengan menggunakan bom atom.
Kedatangan tentara Sekutu ke Bogor memicu perang kemerdekaan di berbagai daerah. Salah satunya adalah pertempuran di sekitar Stasiun Bogor yang merenggut nyawa Kapten Muslihat. Tugu yang semula bertuliskan huruf kanji dan propaganda Jepang kemudian dihapus digantikan dengan coreatan-coretan penyemangat kemerdekaan oleh para pemuda.
Tahun 1941 sewaktu Perang Dunia berkecamuk, pilar putih witte paal dicat ulang dengan warna yang lebih gelap. Bataviassch Niewsblad menulis bahwa pengecatan tugu ini dilakukan atas perintah dewan kota untuk menyamarkan tugu maupun bangunan lain dari serangan udara yang dilakukan militer Jepang.
Setelah Hindia Belanda dikuasai oleh Jepang, beberapa bangunan penting di Bogor dihancurkan. Namun tugu ini dibiarkan tetap berdiri, karena mereka bisa menggunakan sebagai media untuk propaganda. Selama pendudukan Jepang di Bogor, tugu pilar witte paal dihiasi dengan tulisan-tulisan dan poster-poster propaganda mengenai keunggulan Jepang.
Namun pendudukan Jepang tidak bertahan lama, karena pada tahun 1945 mereka harus menelan pil pahit setelah Amerika membumihanguskan Hiroshima dan Nagasaki pada 6 dan 9 Agustus 1945 dengan menggunakan bom atom.
Kedatangan tentara Sekutu ke Bogor memicu perang kemerdekaan di berbagai daerah. Salah satunya adalah pertempuran di sekitar Stasiun Bogor yang merenggut nyawa Kapten Muslihat. Tugu yang semula bertuliskan huruf kanji dan propaganda Jepang kemudian dihapus digantikan dengan coreatan-coretan penyemangat kemerdekaan oleh para pemuda.
Pemerintahan Bogor kemudian diambil alih oleh Sekutu untuk kemudian diserahkan kepada militer Belanda. Hal ini kian memperparah situasi keamanan di berbagai wilayah. Untuk memperingati penyerahan Bogor itulah, militer Belanda memasang Lambang Zeven December Divisi (Divisi Tujuh Desember) pada dinding tugu Witte Paal.
Menjelang hari peringatan Kebangkitan Nasional pada 20 Mei 1958, pihak panitia saat itu mendatangi DPRD Kotapraja Bogor pimpinan Drs, Sutjipto dengan tujuan meminta agar pemerintah berkenan membongkar tugu pilar witte paal karena dianggap tugu kolonial.
Meski sempat ada penolakan dari Jawatan Kadaster yang menganggap keberadaan tugu ini sangat penting sebagai titik dan pengukur dalam pembuatan peta, namun hal itu tidaklah mengurungkan niat dewan kota untuk tetap melanjutkan pembongkaran tugu tersebut.
Setelah berkonsultasi dengan Presiden Republik Indonesia Soekarno, maka dimulailah pembongkaran tugu witte paal sebelum dilangsungkannya peringatan hari kebangkitan Nasional. Pada waktu itu, Bung Karno berpesan agar pemerintah kotapraja mau mengganti tugu yang akan dihancurkan itu dengan tugu lain yang lebih megah dan layak.
Menjelang hari peringatan Kebangkitan Nasional pada 20 Mei 1958, pihak panitia saat itu mendatangi DPRD Kotapraja Bogor pimpinan Drs, Sutjipto dengan tujuan meminta agar pemerintah berkenan membongkar tugu pilar witte paal karena dianggap tugu kolonial.
Meski sempat ada penolakan dari Jawatan Kadaster yang menganggap keberadaan tugu ini sangat penting sebagai titik dan pengukur dalam pembuatan peta, namun hal itu tidaklah mengurungkan niat dewan kota untuk tetap melanjutkan pembongkaran tugu tersebut.
Setelah berkonsultasi dengan Presiden Republik Indonesia Soekarno, maka dimulailah pembongkaran tugu witte paal sebelum dilangsungkannya peringatan hari kebangkitan Nasional. Pada waktu itu, Bung Karno berpesan agar pemerintah kotapraja mau mengganti tugu yang akan dihancurkan itu dengan tugu lain yang lebih megah dan layak.
Pembongkaran tugu setinggi 24 meter itu pun dilakukan dengan memakan biaya sebesar Rp 15.000 (lima belas ribu rupiah). Pada upacara peringatan Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei 1958, secara simbolis dilakukan penghancuran sisa-sia tugu oleh pihak PKP (Pelaksana Kuasa Perang), Residen, Kepala Daerah, dan Pemuda dengan cara menggali sebagian dari pondasi tugu tersebut.
Beberapa tahun kemudian, lahan bekas tugu pilar witte paal berdiri itu difungsikan sebagai kawasan ruang terbuka dengan kolam air mancur. Sampai sekarang daerah itu kemudian dikenal dengan sebutan kawasan Air Mancur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar